Rasa syukur sering diekspresikan dengan pesta. Tiap
tahun selalu ada, salah satunya adalah pesta perpisahan sekolah. Ada yang
menyebut wisuda, perpisahan, atau lainnya. Mulai dari tingkat TK sampai
perguruan tinggi. Intinya satu, pesta. Kebanyakan lembaga pendidikan merasa
gengsi jika tak melakukan acara pesta pelepasan itu. Baik sekolah swasta
berbasis agama tertentu, swasta nasional, swasta internasional, sekolah negeri
sama saja.
Semua orang tua murid “dipaksa” membayar biaya
perpisahan itu. Bisa dibilang dipaksa karena setelah itu tentunya orang tua
murid harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk menyekolahkan anaknya ke
jenjang yang lebih tinggi.
Mungkin untuk orang yang mampu secara ekonomi, iuran
tambahan yang “tidak wajib, tapi diwajibkan” itu tidak menjadi masalah. Toh,
para guru sudah “bermurah hati” menambahkan nilai dari yang seharusnya (ini
pasti dilakukan semua guru), untuk anak mereka. Itu yang menjadi dilema ketika
orang tua murid tidak mendukung adanya pesta perpisahan.
Zaman dulu, pesta perpisahan sekolah diadakan di
aula sekolah dengan sederhana, sekarang demi gengsi dilakukan di ballroom
hotel, restoran, sampai gedung pertemuan. Bahkan untuk beberapa sekolah tertentu,
sampai mengundang bintang tamu artis/grup band terkenal. Tentu dengan tarif
selangit.
Karena semua biaya harus dibagi dengan murid hanya
satu angkatan, dihitung bersama orang tua mereka. Jika keluarga ingin ikut,
harus membeli tiket ekstra yang juga tidak murah. Jika kita perhatikan,
kebanyakan pesta yang diadakan itu sering tidak tepat.
Coba kita renungkan, apalah arti pesta perpisahan
megah yang diadakan di hotel/restoran/gedung pertemuan, untuk anak TK dan SD
yang masih belum tahu arti pesta itu? Di lain pihak, untuk anak SMP, SMA atau
mahasiswa, mestinya sudah bisa berpikir lebih dewasa dan menyadari bahwa pesta
semacam itu hanya memberatkan orang tua mereka.
Meski namanya orang tua, sekali pun berat dan tidak
mampu, pasti ingin anaknya bahagia. Tentu akan berusaha memenuhi keinginan
anak, terutama supaya anaknya tidak jadi minder, karena tidak ikut pesta. Yang
bisa diharapkan sekarang adalah pengendalian dari instansi terkait, dalam hal
ini Dinas Pendidikan. Bukan berarti tidak boleh menyelenggarakan acara
perpisahan sekolah atau wisuda, tetapi harus diawasi supaya tidak kebablasan.
Masih lebih baik jika acara dilakukan dalam bentuk
yang lebih mendidik. Misalnya mengumpulkan buku dan seragam bekas untuk
disumbangkan kepada orang yang kurang mampu atau ke panti asuhan. Memberi
kenang-kenangan yang berguna dan pantas untuk para guru yang sudah mendidik.
Jika tetap bersikeras membuat pesta perpisahan, bisa
dilakukan dengan lebih sederhana yang tidak memberatkan orang tua. Toh hampir
semua sekolah yang menyelenggarakan pesta perpisahan punya aula sendiri. Kita
harus mendidik anak-anak kita untuk hidup sederhana, meskipun secara ekonomi
mampu dan berlebih. Menyenangkan anak tidak harus dengan kemewahan.
Dengan membiarkan dan mendukung pesta mewah berlabel
perpisahan sekolah, justru akan mengajarkan anak menjadi manja dan ingin serba
instan. Apakah akan kita biarkan anak-anak menjadi anak yang bermental lemah
dan hanya bisa ikut arus hedonisme?
Sumber : Suara
Merdeka, 29 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar