“Assalamu’alaikum, Ayla”, suara
yang tak asing itu mengagetkanku di kala aku tengah asyik dengan lantunan indah
ayat suci Al Quran.
“ Wa’alaikumussalam”. Masih
dengan mukena yang kukenakan pada waktu salat Ashar. Belum sempat aku membuka
mukena dan menata jilbabku.
“MasyaAllah!”, kata itu seolah memberi isyarat untuk diam
sejenak. Angin seakan tak berhembus lagi, nafas seolah tersendat, jantung
berhenti berdetak dan seolah aliran darah ini membeku.
Ku tundukkan pandangan haram ini.
Air mataku menetes perlahan. Membanjiri relung – relung hati. Dan meredam api
yang tak pernah padam. “Allah sungguh perencana yang terbaik… “, kataku dalam
hati. “ Seharusnya kita menemui Abi dulu”, dengan sekuat tenaga aku mencoba
memotong pembicaraannya. Kulepaskan mukena, dan bergegas ke tempat Abi.
“Assalamu’alaikum”, aku bergegas
masuk ke kamar dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa, Nduk? Kuabaikan pertanyaan Abi.
“ Oalah cah bagus, sehat, Nak?”, suara itu terdengar samar – samar
dari jendela kamarku. “Alhamdulillah Abi, saya sehat.” Suara yang akrab di
telingaku 6 tahun silam, kini terdengar lagi. Suara yang hampir hilang dan
berusaha kulupakan. Kini bagaikan air di tanah kering. Menghidupkan lagi rasa
yang pernah dan akan mati.
“ Nduk, bawakan minum untuk tamu kita.” Kubawakan 2 gelas teh dengan
wajah sembab. Hijab ini begitu kumel.“Apa
yang membuatmu kembali kemari, Nak? “, Tanya Abi sembari menepuk pundaknya.
“Kesadaranku akan kurangnya ilmu agama dan kerinduanku pada pondok pesantren,
Abi.”, jawabnya dengan terbata – bata. Tak bisa kupungkiri bahwa kata hati ini
tak bisa berdusta.
***
Sang mentari seolah – olah malu
membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan yang begitu
pahit kuhadapi. Ingin rasanya kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat
lagi. Adzan Subuh, mengingatkanku bahwa masih ada Allah tempatku berlindung,
tempatku mengadu.
“ This is time to Subuhan,
Beibeh.” Seseorang yang sudah ada di sampingku dan menghabiskan setengah umurku
bersamanya. “ Iya, Yem. Mari,”
Sosok yang ingin kuhindari kini
berjarak beberapa meter dari sisiku. Sekilas bulan sabitku menatap sosok itu.
Ingin segera ku alihkan pandangan ini. Tapi saying, hati ini tak mampu.
“Oh my God, ada cogan!” Dengan
gaya alaynya membuatku hampir tak kuasa menahan tawa.
Tapi kenyataan yang begitu
memahitkan tak sepatutnya aku tertawa di saat seperti ini.
“Assalamu’alaikum, Ayla.” Salam
kedua yang kini hanya ku jawab dalam hati. Bibir ini terlanjur kaku, kaki ini
secepat mungkin ingin melangkah. Bahkan jika dapat aku terbang, aku akan
terbang sekarang.
“Wa’alaikumsalam. Mas kenalin
namaku Tukiyem.” Tingkah laku Tukiyem memang tidak bisa ditahan. Sifat
bawaannya yang alay kadang menghiburku, tapi kadang juga membuatku malu. Kali
ini dia alay tidak pada waktunya.
“Wah, Mas pindahan ya? Wah mangsa
empuk,” Tukiyem tak berhenti berbicara. Kali ini seolah terbang, ajaib memang.
Kadang otak ini begitu penurut. Kali ini hati bisa ku kalahkan.
Salat Subuh berjamaah sudah
selesai. Waktunya para santri bersih – bersih dan senam pagi. Aku dan Tukiyem
masih sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk mereka.
“Ayla, kamu kenal dengan laki -
laki yang kita temui Subuh tadi?”
“Siapa, Yem? Aku nggak kenal.”
Tiba – tiba air mata itu menetes satu per satu dari sudut mataku. Sungguh ini
hal terberat.
Memang aku sedang membelakangi
Tukiyem yang sedang serius menanak nasi.
“ Ganteng bangets ya, bikin aku
klepek – klepek, dimabuk kepayang 7 hari 7 malam.” Dengan gaya alaynya dan
berputar – putar membawa sendok nasi.
“ Nasi ini oh nasi ini, nasi yang
sempurna. Karena bumbu – bumbu cinta ada di setiap bulirnya. Mas ganteng oh mas
ganteng. Tukiyem yang cantik ini jatuh cinta padamu. Datanglah padaku, bawalah
kasihmu yang jelita ini ke pelaminan.” Tukiyem bagaikan seorang penyair hebat.
Melihat Tukiyem jatuh cinta, membuatku teringat 6 tahun silam. Ketika rasa yang
sama pernah terjadi padaku. Ah sudahlah.
Tak lama kemudian, Kevin
memanggilku dari pintu dapur. “ Ayla, Abi memanggilmu. Katanya ada seseorang
yang ingin bertemu denganmu.” Kuusap air mata yang dari tadi tak berhenti
menetes. Sedikit melempar senyum kepada calon imamku. Aku bergegas ke rumah,
mungkin seorang desainer, atau fotografer. Karena Abi begitu menggebu – gebu
dengan pernikahan ini.
Di
rumah, duduk seseorang dengan baju hem sesiku, memakai celana jeans panjang dan
begitu rapi.
“
Assalamu’alaikum Ayla Ahma.” Salam ketiga dengan nama lengkapku. Lesung pipi
semanis madu yang terlihat sekilas. Sebelum dia tertunduk sopan padaku. Sungguh
miris hati ini melihatnya.
“
Duduk, Nduk, ini teman lamamu. Abi
mau ke pondok dulu. Pak ustad sudah menunggu. Dika, bagilah pengalamanmu dengan
Ayla. Pindahlah ke teras depan. Di luar ada adikmu, Ayla. Agar tidak
menimbulkan fitnah.”
“
Baik, Abi.”
Kami
duduk berhadapan. Kami terdiam, berbisu dan mematung. Mata kami saling
tertunduk. Mencegah setan yang ada di sorotan mata kami.
“Ya
Allah, kuatkan hamba-Mu ini. Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik. Sungguh,
aku tak berdaya. Ya Allah, kuatkan aku, yakinkan aku, sadarkan aku, dan…
Bismillahirrahmanirrahiim.” Kataku dalam
hati.
“Aku…..”
Suara kami bersama. Bagaikan paduan suara 17 Agustus.
“
Silahkan kamu dulu. “ Suara itu begitu mantap dan bijak.
“Assalamu’alaikum,
Dika. Bagaimana kabarmu? Sukseskah kau di Mesir sana? Bagaimana? Siapa tambatan
hatimu? Atau kau sedang taaruf? Tanyaku begitu panjang. Sembari tersenyum
kecil, seperti membius Dika dari pandangan ke sudut mataku yang tak mampu ku
tahan.
Senyuman
yang tak pernah berubah dari 6 tahun silam, kini terlihat lagi. Membuatku
teringat masa – masa terindah dalam hidup. Mengingat kembali betapa indahnya
hidupku, sebelum perjodohan ini ada.
“
Alhamdulillah, kabarku baik dan tak pernah sebaik ini sebelum aku bertemu lagi
denganmu. Aku pulang membawa kebanggaan untukmu. Karena kesuksesanku lahir dari
keikhlasan hatimu untuk membimbingku. Dari seorang berandalan menjadi seorang
ilmuwan. Kini aku bisa membuat serum yang bisa kumodifikasi sendiri sesuai
fungsinya. Soal jodoh atau tambatan hati, hal itu yang membuatku terbang pulang
dan menjemputmu.”
Kini
semua menghinaku. Baik hati dan otak sama – sama berbicara “ Kamu bodoh. Lihatlah!
Ini karena kau membohongi hatimu sendiri. Silakan, kau nikmati hidupmu. Apa kau
tega?” Bahkan air mata sudah tak berpihak padaku lagi. Mereka memilih pergi,
membiarkanku menghadapi semua ini sendiri. Bibir ini kaku, semua seolah berkata
“ Apa kau mencari pembelaan? Maaf Ayla, kami lelah membelamu. Kau terlampau
jauh. Kau terlalu pintar ketika kau berhasil menyembunyikan rasamu. Tapi
lihatlah, kali ini kau begitu bodoh! “
Iya, begitulah seluruh anggota tubuhku selalu
menyalahkanku. Seakan – akan aku adalah orang terbodoh yang telah membohongi
perasaanku sendiri. Dalam hatiku berkata, “ Teringat 6 tahun silam, saat aku
pertama kali mengenalmu, sebagai sosok yang jauh dari ajaran agama, sosok yang
tak tahu apa itu salat, sosok yang tak tahu apa itu akhirat, sosok yang seolah
– olah dinodai banyak maksiat. Di situlah aku berusaha untuk sedikit demi
sedikit membimbingmu, mendekatkanmu, pada yang menciptakanmu, lewat buku – buku
yang kuberikan. Teringat di saat Abi menghukummu dengan hukuman yang sangat berat.
Tapi aku membelamu. Karena ku yakin, kau bisa berubah. Dan dugaanku benar. Kau
bisa berubah. Hingga kini kau bisa sukses. Tugasku hanyalah membimbingmu mengubah
sikapmu, dan selalu mendukungmu meraih kesuksesan. Tetapi, semua keputusan ada
di tanganmu ,dengan siapa kau akan menikmati kesuksesanmu itu.” Bisikku dalam
hati.
***
“
Assalmu’alaikum, Ayla. “
“
Wa’alaikumussalam.” Suara itu, wajah itu, membuatku ingin berlari sejauh
mungkin dari masjid ini. Bagaimana bisa aku menatap wajah itu, menghayati setiap
makna suara itu dalam hatiku. Sedangkan aku dan dia sudah terjebak dalam cinta
yang tak pasti. Akhirnya, aku berlari drai masjid ini. Mungkin melupakannya, adalah keputusan yang
bijak untukku. Ya, aku harus berusaha melupakannya. Aku sudah tak mampu
menyembunyikan air mata ini. Sejujurnya,
aku masih mencintainya. Namun, takdir tidak menghendakinya. Sosos itu masih
terus mengejarku, hingga aku berhenti d taman pondok pesantren. Perlahan, ia
mendekatiku, kurasakan cinta yang nyaris hilang 6 tahun silam. Kali ini, aku
benar – benar ingin menatap indah wajahnya, merasakan asmara yang begitu
membara. Hati kecilku berkata bahwa aku harus berani memandangnya. Perlahan –
lahan aku pun mulai menatap bola matanya, memandanginya. Ya, akhirnya aku
berhasil. Memandanginya seperti ini sudah mengobati rasa rinduku 6 tahun silam.
Halo Bondan, cerpenmu bagus, aku suka, aku suka.
BalasHapusAda beberapa kalimat yang mungkin harus diperbaiki seperti :
'Sang mentari seolah – olah malu membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan yang begitu pahit kuhadapi. Ingin rasanya kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat lagi. Adzan Subuh, mengingatkanku bahwa masih ada Allah tempatku berlindung, tempatku mengadu.'
Jadi seperti ini :
'Sang mentari seolah malu membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan pahit yang kuhadapi. Ingin kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat lagi tuk bangkit. Adzan Subuh, mengingatkanku pada Allah tempatku berlindung, tempatku mengadu.'
Sekian saran saya :)
#Nabila
makasih sarannya
Hapus