Ku gendong tas hitamku.
Di dalamnya telah ku siapkan peralatan perangku malam lalu. Sebatang pensil 2B
sudah terasah tajam, sebatang penghapus putih, 2 ballpoint, serta tip-ex telah
siap. Matahari baru bangun. Ia mengintipku yang tengah akan berangkat dari
balik awan. Aku akan pergi ke medan perang, Ujian Penerimaan Siswa Baru di
Sekolah Menengah Pertama. Dengan mengendarai motor tua ayahku, aku telusuri
jalan demi jalan. Motor yang setia mengantarku selama 9 tahun ini sebentar lagi
akan memiliki rute baru.
Aku telah berdiri di
depan pintu gerbang calon sekolahku. Ku lihat anak sebayaku berlalu lalang
dengan membawa sebuah buku. Dengan anak-anak itulah nanti aku akan memperebutkan
sebuah kursi yang sangat penting. Sebuah kursi yang akan menentukan posisiku di
sekolah ini. Dengan bermodalkan niat, ilmu yang kudapat dari sekolah dasar,
serta doa dari orang tuaku, aku telah siap menaklukkan tes ini. Akan ku
buktikan bahwa anak SD swasta juga dapat sekolah di SMP Negeri.
Bel berdering-dering.
Tes dimulai. Aku bolak-balikkan kertas soal. Satu butir, dua butir, hingga
berbutir soal telah ku babat habis. Waktu kurang 10 menit. Beberapa butir soal
masih belum kukerjakan. Ku coba putar otakku. Aku juga mencoba mencari jawaban
soal ini di sudut-sudut terpencil otakku. Nihil. Aku benar-benar lupa. Aku
lihat sekeliling. Ada beberapa anak tampak mengerjakan dengan santai, ada yang
sedang kebingungan, dan ada pula yang melihat hasil orang lain. Dan sayangnya,
aku berada di golongan kedua.
Waktu kian menipis. Aku
terus berusaha dengan mencorat-coret tak karuan di atas kertas buram. Bel
berdering tiga kali, tanda waktu tinggal lima menit. Aku akhirnya menggunakan
pilihan terakhir yang ada, menggunakan instingku. Dengan membaca sekilas soal
demi soal, aku langsung menyilang jawabanku. Tepat pada saat bel berdering aku
telah selesai. Dengan pasrah aku maju dan mengumpulkan hasil jerih payahku
tadi.
Di rumah, perasaanku
tak bisa tenang. Senang, kecewa, bahkan marah bercampur di hatiku. Lamunanku
pun dibuyarkan oleh ketukan pintu. Ibuku masuk ke kamarku sambil membawa teh
manis. “Bagaimana ujiannya? Mudah?” tanya ibuku. “Ya” jawabku singkat. Aku tak
ingin beliau merasakan apa yang ku rasakan saat ini.
Menjelang hari
pengumuman kelulusan, perasaanku semakin kacau. Makan tak enak, tidur tak enak,
sampai buang air pun juga tak enak. Apakah aku akan lulus? Pertanyaan yang satu
ini selalu membuat diriku gundah. Aku terus berdoa agar lulus ujian ini.
Hari pengumuman tiba.
Dengan melangkah gontai, aku melihat papan pengumuman. Aku sengaja melihat
papan pengumuman itu sore hari agar tidak berdesak-desakkan. Aku cari namaku di
antara beratus nama di sini dengan telunjukku. Ketemu. Jariku bergeser ke
kanan. Ku eja satu per satu huruf di sana. L-U-L-U-S, lulus. Aku tersontak
kaget tak percaya. Aku ulang kembali membaca tulisan ini. Aku lulus. Aku
langsung bersujud syukur atas karunia ini. Usai sudah perjuanganku di medan
awal. Medan lain telah menunggu untuk ku taklukkan. Dalam hatiku telah ku
tancapkan sebuah cita-cita. Aku akan menyongsong hari esok yang cerah untuk
mencapai segala yang telah ku impikan. Aku telah memiliki bekal penting dalam
menempuh perjalanan yang masih panjang ini. Ilmu, kerja keras, dan kesabaran
adalah bekalku. Akan ku buktikan pada dunia bahwa aku, seorang anak dari
keluarga berkecukupan mampu menaklukkan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar