Selasa, 02 Desember 2014

Cerpen Remaja



“Assalamu’alaikum, Ayla”, suara yang tak asing itu mengagetkanku di kala aku tengah asyik dengan lantunan indah ayat suci Al Quran.
“ Wa’alaikumussalam”. Masih dengan mukena yang kukenakan pada waktu salat Ashar. Belum sempat aku membuka mukena dan menata jilbabku.
“MasyaAllah!”,  kata itu seolah memberi isyarat untuk diam sejenak. Angin seakan tak berhembus lagi, nafas seolah tersendat, jantung berhenti berdetak dan seolah aliran darah ini membeku.
Ku tundukkan pandangan haram ini. Air mataku menetes perlahan. Membanjiri relung – relung hati. Dan meredam api yang tak pernah padam. “Allah sungguh perencana yang terbaik… “, kataku dalam hati. “ Seharusnya kita menemui Abi dulu”, dengan sekuat tenaga aku mencoba memotong pembicaraannya. Kulepaskan mukena, dan bergegas ke tempat Abi.
“Assalamu’alaikum”, aku bergegas masuk ke kamar dengan air mata yang tak kunjung berhenti menetes. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa, Nduk? Kuabaikan pertanyaan Abi.
Oalah cah bagus, sehat, Nak?”, suara itu terdengar samar – samar dari jendela kamarku. “Alhamdulillah Abi, saya sehat.” Suara yang akrab di telingaku 6 tahun silam, kini terdengar lagi. Suara yang hampir hilang dan berusaha kulupakan. Kini bagaikan air di tanah kering. Menghidupkan lagi rasa yang pernah dan akan mati.

Nduk, bawakan minum untuk tamu kita.” Kubawakan 2 gelas teh dengan wajah sembab. Hijab ini begitu kumel.“Apa yang membuatmu kembali kemari, Nak? “, Tanya Abi sembari menepuk pundaknya. “Kesadaranku akan kurangnya ilmu agama dan kerinduanku pada pondok pesantren, Abi.”, jawabnya dengan terbata – bata. Tak bisa kupungkiri bahwa kata hati ini tak bisa berdusta.
***
Sang mentari seolah – olah malu membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan yang begitu pahit kuhadapi. Ingin rasanya kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat lagi. Adzan Subuh, mengingatkanku bahwa masih ada Allah tempatku berlindung, tempatku mengadu.
“ This is time to Subuhan, Beibeh.” Seseorang yang sudah ada di sampingku dan menghabiskan setengah umurku bersamanya. “ Iya, Yem. Mari,”
Sosok yang ingin kuhindari kini berjarak beberapa meter dari sisiku. Sekilas bulan sabitku menatap sosok itu. Ingin segera ku alihkan pandangan ini. Tapi saying, hati ini tak mampu.
“Oh my God, ada cogan!” Dengan gaya alaynya membuatku hampir tak kuasa menahan tawa.
Tapi kenyataan yang begitu memahitkan tak sepatutnya aku tertawa di saat seperti ini.
“Assalamu’alaikum, Ayla.” Salam kedua yang kini hanya ku jawab dalam hati. Bibir ini terlanjur kaku, kaki ini secepat mungkin ingin melangkah. Bahkan jika dapat aku terbang, aku akan terbang sekarang.
“Wa’alaikumsalam. Mas kenalin namaku Tukiyem.” Tingkah laku Tukiyem memang tidak bisa ditahan. Sifat bawaannya yang alay kadang menghiburku, tapi kadang juga membuatku malu. Kali ini dia alay tidak pada waktunya.
“Wah, Mas pindahan ya? Wah mangsa empuk,” Tukiyem tak berhenti berbicara. Kali ini seolah terbang, ajaib memang. Kadang otak ini begitu penurut. Kali ini hati bisa ku kalahkan.
Salat Subuh berjamaah sudah selesai. Waktunya para santri bersih – bersih dan senam pagi. Aku dan Tukiyem masih sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk mereka.
“Ayla, kamu kenal dengan laki - laki yang kita temui Subuh tadi?”
“Siapa, Yem? Aku nggak kenal.” Tiba – tiba air mata itu menetes satu per satu dari sudut mataku. Sungguh ini hal terberat.
Memang aku sedang membelakangi Tukiyem yang sedang serius menanak nasi.
“ Ganteng bangets ya, bikin aku klepek – klepek, dimabuk kepayang 7 hari 7 malam.” Dengan gaya alaynya dan berputar – putar membawa sendok nasi.
“ Nasi ini oh nasi ini, nasi yang sempurna. Karena bumbu – bumbu cinta ada di setiap bulirnya. Mas ganteng oh mas ganteng. Tukiyem yang cantik ini jatuh cinta padamu. Datanglah padaku, bawalah kasihmu yang jelita ini ke pelaminan.” Tukiyem bagaikan seorang penyair hebat. Melihat Tukiyem jatuh cinta, membuatku teringat 6 tahun silam. Ketika rasa yang sama pernah terjadi padaku. Ah sudahlah.
Tak lama kemudian, Kevin memanggilku dari pintu dapur. “ Ayla, Abi memanggilmu. Katanya ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Kuusap air mata yang dari tadi tak berhenti menetes. Sedikit melempar senyum kepada calon imamku. Aku bergegas ke rumah, mungkin seorang desainer, atau fotografer. Karena Abi begitu menggebu – gebu dengan pernikahan ini.
                Di rumah, duduk seseorang dengan baju hem sesiku, memakai celana jeans panjang dan begitu rapi.
“ Assalamu’alaikum Ayla Ahma.” Salam ketiga dengan nama lengkapku. Lesung pipi semanis madu yang terlihat sekilas. Sebelum dia tertunduk sopan padaku. Sungguh miris hati ini melihatnya.
                “ Duduk, Nduk, ini teman lamamu. Abi mau ke pondok dulu. Pak ustad sudah menunggu. Dika, bagilah pengalamanmu dengan Ayla. Pindahlah ke teras depan. Di luar ada adikmu, Ayla. Agar tidak menimbulkan fitnah.”
                “ Baik, Abi.”
                Kami duduk berhadapan. Kami terdiam, berbisu dan mematung. Mata kami saling tertunduk. Mencegah setan yang ada di sorotan mata kami.
                “Ya Allah, kuatkan hamba-Mu ini. Engkau Maha Mengetahui apa yang terbaik. Sungguh, aku tak berdaya. Ya Allah, kuatkan aku, yakinkan aku, sadarkan aku, dan… Bismillahirrahmanirrahiim.”  Kataku dalam hati.
                “Aku…..” Suara kami bersama. Bagaikan paduan suara 17 Agustus.
                “ Silahkan kamu dulu. “ Suara itu begitu mantap dan bijak.
                “Assalamu’alaikum, Dika. Bagaimana kabarmu? Sukseskah kau di Mesir sana? Bagaimana? Siapa tambatan hatimu? Atau kau sedang taaruf? Tanyaku begitu panjang. Sembari tersenyum kecil, seperti membius Dika dari pandangan ke sudut mataku yang tak mampu ku tahan.
                Senyuman yang tak pernah berubah dari 6 tahun silam, kini terlihat lagi. Membuatku teringat masa – masa terindah dalam hidup. Mengingat kembali betapa indahnya hidupku, sebelum perjodohan ini ada.
                “ Alhamdulillah, kabarku baik dan tak pernah sebaik ini sebelum aku bertemu lagi denganmu. Aku pulang membawa kebanggaan untukmu. Karena kesuksesanku lahir dari keikhlasan hatimu untuk membimbingku. Dari seorang berandalan menjadi seorang ilmuwan. Kini aku bisa membuat serum yang bisa kumodifikasi sendiri sesuai fungsinya. Soal jodoh atau tambatan hati, hal itu yang membuatku terbang pulang dan menjemputmu.”
                Kini semua menghinaku. Baik hati dan otak sama – sama berbicara “ Kamu bodoh. Lihatlah! Ini karena kau membohongi hatimu sendiri. Silakan, kau nikmati hidupmu. Apa kau tega?” Bahkan air mata sudah tak berpihak padaku lagi. Mereka memilih pergi, membiarkanku menghadapi semua ini sendiri. Bibir ini kaku, semua seolah berkata “ Apa kau mencari pembelaan? Maaf Ayla, kami lelah membelamu. Kau terlampau jauh. Kau terlalu pintar ketika kau berhasil menyembunyikan rasamu. Tapi lihatlah, kali ini kau begitu bodoh! “
                 Iya, begitulah seluruh anggota tubuhku selalu menyalahkanku. Seakan – akan aku adalah orang terbodoh yang telah membohongi perasaanku sendiri. Dalam hatiku berkata, “ Teringat 6 tahun silam, saat aku pertama kali mengenalmu, sebagai sosok yang jauh dari ajaran agama, sosok yang tak tahu apa itu salat, sosok yang tak tahu apa itu akhirat, sosok yang seolah – olah dinodai banyak maksiat. Di situlah aku berusaha untuk sedikit demi sedikit membimbingmu, mendekatkanmu, pada yang menciptakanmu, lewat buku – buku yang kuberikan. Teringat di saat Abi menghukummu dengan hukuman yang sangat berat. Tapi aku membelamu. Karena ku yakin, kau bisa berubah. Dan dugaanku benar. Kau bisa berubah. Hingga kini kau bisa sukses. Tugasku hanyalah membimbingmu mengubah sikapmu, dan selalu mendukungmu meraih kesuksesan. Tetapi, semua keputusan ada di tanganmu ,dengan siapa kau akan menikmati kesuksesanmu itu.” Bisikku dalam hati.
***
                “ Assalmu’alaikum, Ayla. “
                “ Wa’alaikumussalam.” Suara itu, wajah itu, membuatku ingin berlari sejauh mungkin dari masjid ini. Bagaimana bisa aku menatap wajah itu, menghayati setiap makna suara itu dalam hatiku. Sedangkan aku dan dia sudah terjebak dalam cinta yang tak pasti. Akhirnya, aku berlari drai masjid ini.  Mungkin melupakannya, adalah keputusan yang bijak untukku. Ya, aku harus berusaha melupakannya. Aku sudah tak mampu menyembunyikan air mata ini.  Sejujurnya, aku masih mencintainya. Namun, takdir tidak menghendakinya. Sosos itu masih terus mengejarku, hingga aku berhenti d taman pondok pesantren. Perlahan, ia mendekatiku, kurasakan cinta yang nyaris hilang 6 tahun silam. Kali ini, aku benar – benar ingin menatap indah wajahnya, merasakan asmara yang begitu membara. Hati kecilku berkata bahwa aku harus berani memandangnya. Perlahan – lahan aku pun mulai menatap bola matanya, memandanginya. Ya, akhirnya aku berhasil. Memandanginya seperti ini sudah mengobati rasa rinduku 6 tahun silam.

2 komentar:

  1. Halo Bondan, cerpenmu bagus, aku suka, aku suka.
    Ada beberapa kalimat yang mungkin harus diperbaiki seperti :
    'Sang mentari seolah – olah malu membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan yang begitu pahit kuhadapi. Ingin rasanya kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat lagi. Adzan Subuh, mengingatkanku bahwa masih ada Allah tempatku berlindung, tempatku mengadu.'
    Jadi seperti ini :
    'Sang mentari seolah malu membangunkanku dari mimpi indah. Menyadarkanku tentang kenyataan pahit yang kuhadapi. Ingin kuselimuti lagi tubuh ini yang rasanya tak kuat lagi tuk bangkit. Adzan Subuh, mengingatkanku pada Allah tempatku berlindung, tempatku mengadu.'

    Sekian saran saya :)
    #Nabila

    BalasHapus